STRATEGI PEMASARAN MELALUI SUB TERMINAL AGRIBISNIS (STA) SUATU ALTERNATIF PENINGKATAN KEMAMPUAN PELAKU AGRIBISNIS
OLEH : HASANAWI MASTURI
I. PENDAHULUAN
Pemasaran komoditi agribisnis pada umumnya masih banyak ditentukan oleh peran pihak pelaku pemasaran di tingkat hilir seperti pedagang pengumpul dan pedagang besar (bandar), sehingga peran petani (produsen) dalam proses pemasaran hasil belum terlihat jelas, kecuali pada para petani dengan status ganda dan petani dengan skala usaha yang besar. Dengan keadaan seperti ini kapasitas petani dalam proses penentuan harga masih relatif kecil.
Pola pemasaran konvensional yang dilakukan petani menyebabkan tingkat harga yang diterima oleh petani pada umumnya relatif lebih kecil dibandingkan dengan harga yang diterima oleh pedagang. Keuntungan yang diterima oleh petani dari kegiatan usahataninya juga relatif kecil, sementara konsumen harus membayar lebih mahal dari harga yang selayaknya ditawarkan, hal ini sebagai akibat dari terjadinya biaya pemasaran yang tinggi dari petani hingga sampai kepada konsumen akhir. Kenyataan lain menunjukkan bahwa disamping lemahnya posisi tawar (bargaining posistion) petani dalam pemasaran juga semakin maraknya produk-produk pesaing khususnya produk import di pasar yang sama dalam negeri.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan efisiensi pemasaran dan meningkatkan nilai tambah petani dan produk agribisnis adalah dengan mengembangkan infrastruktur pemasaran antara lain dengan mengembangkan Sub Terminal Agribisnis (STA). Pengelolaan STA tidak hanya sebagai tempat pelelangan produk agribisnis tetapi juga sebagai tempat pelayanan berbagai kepentingan pelaku agribisnis (petani, pengolah dan pedagang).
II. POSISI STRATEGIS SUB TERMINAL AGRIBISNIS (STA)
Sub Terminal Agribisnis (STA) merupakan infrastruktur pemasaran untuk transaksi hasil-hasil pertanian, baik untuk transaksi fisik (lelang, langganan, pasar spot) maupun non fisik (kontrak, pesanan, future market). Selain itu diharapkan berfungsi pula untuk pembinaan peningkatan mutu produk sesuai dengan permintaan pasar, pusat informasi, promosi dan tempat latihan atau magang dalam upaya pengembangan peningkatan sumber daya manusia (Badan Agribisnis Departemen Pertanian, 2000).
Tujuan STA adalah untuk menciptakan sistem pasar persaingan sempurna (pure competitive market), Memperpendek rantai tataniaga, menigkatkan nilai tambah produk dan meningkatkan posisi tawar (bargaining position) pelaku agribisnis.
Berdasarkan konsep yang dikeluarkan oleh Badan Agribisnis Departemen Pertanian, ditegaskan bahwa konsep dasar mengembangkan STA sebagai suatu infrastruktur pasar, tidak saja merupakan tempat transaksi jual beli, namun juga merupakan wadah yang dapat mengakomodasi berbagai kepentingan pelaku agribisnis seperti sarana prasarana pengemasan, sortasi, grading, penyimpanan, ruang pamer (operation room), transportasi, pelatihan, tempat untuk saling berkomunikasi bagi para pelaku agribisnis dan mengantisipasi berbagai permasalahan yang dihadapi.
STA sebagai infrastruktur pemasaran yang terdapat di sentra produksi diharapkan bermanfaat untuk :
1. Memperlancar kegiatan dan meningkatkan efisiensi pemasaran komoditas agribisnis.
• STA adalah pasar sebagai pusat transaksi hasil-hasil agribisnis.
• Memperbaiki struktur pasar, cara dan jaringan pemasaran.
• Pusat informasi pasar pertanian.
• Sebagai sarana promosi produk pertanian.
2. Mempermudah pembinaan mutu hasil-hasil agribisnis.
• Menyediakan tempat sortasi dan pengemasan.
• Menyediakan air bersih, es, gudang, cool room, cold storage.
• Melatih para petani dan pedagang dalam penanganan dan pengemasan hasil-hasil pertanian.
3. Wadah bagi pelaku agribisnis untuk merancang bangun pengembangan agribisnis, mengsinkronkan kebutuhan/permintaan pasar dengan manajemen lahan, pola tanam, kebutuhan saprodi dan permodalan serta peningkatan SDM pemasaran.
4. Peningkatan pendapatan daerah melalui jasa pelayanan pemasaran.
5. Pengembangan agribisnis dan wilayah.
Sedangkan sasaran pembangunan STA adalah (1) meningkatkan nilai tambah bagi petani dan pelaku pasar, (2) mendidik petani untuk memperbaiki kualitas produknya, (3) mengubah pola pikir petani kearah pola pikir agribisnis, (4) menjadi salah satu sumber pendapatan asli daerah dan (5) mengembangkan akses pasar.
Sarana dan prasarana yang harus disediakan di STA anatara lain meliputi (1) kantor pengelola, (2) bangunan operasional yang terdiri dari tempat bongkar muat produk, tempat penampungan, ruang pencucian, sortasi dan pengemasan, gudang, cool room/cold storage, (3) lapangan parkir, (4) Perkantoran dan Bank, (5) ruang pelatihan/serba guna dan (6) rumah makan.
STA yang merupakan suatu infrastruktur pemasaran yang dapat dipandang sebagai sub system pemasaran dalam suatu system agribisnis melibatkan banyak pihak, sehingga harus dikelola secara professional. Pengelola STA berperan dalam membantu kelancaran tataniaga dalam STA, menjaga ketertiban dan keamanan, menyediakan fasilitas yang dibutuhkan untuk mendukung kelancaran usaha, kebersihan lingkungan, kelancaran informasi dan promosi.
III. STRATEGI PEMASARAN DENGAN MEMFUNGSIKAN INFRASTRUKTUR STA
Model strategi pemasaran dengan memfungsikan infrastruktur STA dapat dilihat pada Gambar 1. Sebagai infrastruktur pemasaran STA berfungsi sebagai berikut :
1. Sebagai sarana untuk mempertemukan antara petani dengan pedagang terhadap suatu komoditi agribisnis yang akan dipasarkan.
2. Sebagai sumber informasi yaitu yang terpenting dalam hal ini peran STA sangat terkait dengan informasi harga pasar yang terjadi secara umum dengan patokan harga di pasar induk dan/atau harga lokal serta sebagai sumber informasi tentang komoditi agribisnis yang ada dari hasil produksi petani lengkap dengan jumlah produksinya (kuantitasnya) dan mutunya (kualitasnya). Untuk itu jumlah luas tanam dan perkiraan produksi, serta kualitas produk sudah harus didata dan diketahui sebelumnya, sehingga para pedagang mendapatkan informasi yang jelas, serta mendapat jaminan kuantitas dan kualitas produk.
3. Sebagai tempat pelelangan komoditi agribisnis, yaitu mengatur proses transaksi antara petani atau kelompok tani yang diwakili oleh ketua kelompok dengan beberapa pedagang melalaui ketentuan yang telah ditentukan sebelumnya.
4. Sebagai lembaga penghubung yang memfasilitasi antara petani atau kelompok tani dengan lembaga keuangan di tingkat produsen untuk merekomendasikan jumlah modal yang dibutuhkan sesuai dengan kuantitas produksi yang dapat dipasarkan di STA. Dengan demikian STA akan bisa menjembatani petani untuk memberikan alternatif permodalan untuk secara bertahap keluar dari ketergantungan terhadap pemberi modal (pedagang) sebelumnya, sehingga petani dapat “independen” memasarkan produknya ke STA.
5. Sebagai sumber pendistribusian produk agribisnis yang dibutuhkan oleh para pedagang dan konsumen, terutama pada saat produksi dalam jumlah yang terbatas atau sebaliknya pada saat terjadi panen raya. Dengan demikian secara tidak langsung STA berperan sebagai “stabilisator” terhadap kontinuitas ketersediaan produk di pasaran yang pada akhirnya pembentukan harga dapat stabil.
6. Sebagai tempat pengelolaan produk agribisnis, seperti cleaning, sortasi, grading dan pengemasan. Hal ini untuk meningkatkan nilai tambah produk.
7. Sebagai sarana untuk mempromosikan produk agribisnis yang dihasilkan petani, terutama produk-produk unggulan daerah.
8. Sebagai sarana untuk melakukan pembinaan terhadap petani dalam pengelolaan usahatani dan pemasaran produk.
Untuk menjalankan fungsinya dengan baik, struktur organisasi dan manajemen STA harus dilakukan secara terpadu dan profesional. Kepengurusan STA harus terdiri dari orang-orang yang banyak terlibat dalam struktur pemasaran dan komoditi agribisnis yang ditangani di daerah yang bersangkutan, serta memiliki kemampuan manajemen yang memadai. Selain itu untuk menghidupi kegiatan operasional STA juga harus ditentukan berapa persen dari bagian yang akan diterima oleh STA melalui kesepakatan transaksi, pendaftaran pelelangan, serta besarnya ongkos angkut yang sudah disetujui atau semacam registrasi intern para pemilik produk dengan STA.
BAHAN BACAAN
Badan Agribisnis Departemen Pertanian, 2000. Petunjuk Teknis Pengembangan
Sub Terminal Agribisnis. Badan Agribisnis Departemen Pertanian, Jakarta.
Cravens, D.W., 2000. Strategic Marketing, Sixth Edition, Irwin McGraw-Hill,
USA.
Karmana, M.H., Hasanawi Mt., Ahmad, T.N. dan Iwan, S.A., 2001. Kajian
Pengembangan Pemasaran Model Pelelangan Komoditas Agribisnis pada Sentra Produksi. Laporan Hasil Penelitian, Kerjasama antara Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Jawa Barat dengan PT. Arjasari Primaraya, Bandung.
Kotler, P., 1997. Marketing Management, Ninth Edition. (Alih Bahasa oleh
Hendra Teguh, SE.,Ak. dan Ronny A. Rusli, SE.,Ak.), PT. Prenhallindo, Jakarta.
Sukmadinata, T., 2001. Sistem Pengelolaan Terminal Agribisnis dan Sub
Terminal Agribisnis Secara Terpadu Untuk Memberikan Nilai Tambah Pelaku dan Produk Agribisnis. Makalah pada Apresiasi Manajemen Kelayakan Terminal Agribisnis, Sub Terminal Agribisnis, Pergudangan dan Distribusi. Hotel Cisarua Indah, Bogor, 14 – 16 Agustus 2001.
Tanjung, D., 2001. Metoda Analisis Studi Kelayakan Pembangunan TA/STA. Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hortikultura Direktorat Jenderal Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Departemen Pertanian. Makalah pada Apresiasi Manajemen Kelayakan Terminal Agribisnis, Sub Terminal Agribisnis, Pergudangan dan Distribusi. Hotel Cisarua Indah, Bogor, 145 – 16 Agustus 2001.
Kamis, 18 Februari 2010
ARTIKEL ILMIAH PENGELOLAAN SDH
PENGELOLAAN SUMBER DAYA HUTAN YANG BERKELANJUTAN
OLEH : HASANAWI MASTURI
I. SUMBER DAYA ALAM DAN SUMBER DAYA HUTAN
Allah berfirman dalam Al Qur’an “Dan Kami hamparkan bumi itu dan Kami letakkan padanya gunung-gunung yang kokoh dan kami tumbuhkan padanya segala macam tanaman yang indah dipandang mata. Untuk menjadi pelajaran dan peringatan bagi tiap-tiap hamba yang mengingat Allah” (QS. 50:7-8). Firman Allah tersebut menggambarkan betapa sempurnanya bumi ciptaan Allah tersebut, yang mesti harus disyukuri dan dipelihara oleh manusia sebagi khalifah di muka bumi ini.
Sumber daya alam (natural resources) adalah segala sesuatu yang diproleh dari lingkungan fisik untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan umat manusia atau dengan kata lain sumberdaya alam adalah sumbangan bumi berupa benda hidup atau benda mati (living and nonliving endowments) yang bisa diekploitasi aleh manusia sebagai sumber makanan, bahan mentah dan energi (Yakin, 1997).
Karakteristik sumber daya alam meliputi sumber daya alam yang dapat diperbaharui (renewable resources), sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui (nonrenewable resources) dan sumber daya alam gabungan yang dapat dan tidak dapat diperbaharui (Karmana, 2003).
Ada tiga tipe/jenis sumber daya alam yaitu sumber daya alam yang tidak pernah habis-habis (renewable perpetual resources) antara lain sinar matahari, angin, lahan dan sebagainya; sumber daya alam yang tidak bisa diperbaharui (nonrenewable resources) antara lain minyak bumi, gas alam, mineral non energi dan sebagainya; sumber daya alam yang secara potensial bisa diperbaharui (potentially renewable resources) antara lain udara segar, air bersih, tanaman dan sebagainya (Yakin,1997).
Sumber daya hutan merupakan satu kesatuan ekosistem yang komponen utamanya adalah tumbuh-tumbuhan yang potensial untuk diperbaharui. Sumberdaya hutan sangat penting bagi lingkungan hidup manusia, karena memegang peranan dalam proses ekologi yang merupakan sistem pendukung kehidupan di bumi ini.
Fungsi hutan sebagai penghasil kayu dan penghasil hutan lainnya, peredam erosi, banjir, tanah longsor, abrasi pantai dan pembuat iklim mikro serta sebagai sumber plasma nutfah (gen pool). Selain itu kawasan hutan dapat dikonversi bagi kepentingan pembangunan di sektor lain (Irianto, 1999).
Hutan memiliki fungsi melindungi tanah, karena adanya vegetasi secara alam yang menutup tanah, sehingga tanah dapat terlindung dari pengikisan oleh air hujan dan juga hutan berperan penting dalam mengatur tata air, karena adanya efek spons yang dimiliki oleh hutan yang bekerja dengan menyerap air kemudian menahannya sehingga air akan mengalir lebih lambat dan merata ke dalam sistem sungai. Dengan demikian hutan akan dapat mencegah terjadinya banjir dan erosi serta tanah longsor pada saat musim hujan, demikian pula sebaliknya pada musim kemarau hutan dapat terus mensuplai air sehingga terhindar dari bahaya kekeringan.
Mengingat betapa pentingnya keberadaan hutan dalam menjaga stabilitas lingkungan hidup, maka kelestarian sumber daya hutan sangat penting untuk dijaga. Kerusakan sumber daya hutan dapat menimbulkan kerusakan ekosistem hutan, hilangnya spesies-spesies tertentu baik flora maupun fauna, dan juga dapat menimbulkan bencana alam seperti banjir dan tanah longsor, serta pendangkalan daerah aliran sungai.
Dengan demikian untuk manjaga kelestarian sumber daya hutan dalam upaya menjaga lingkungan hidup, maka sangat dibutuhkan pengelolaan sumber daya hutan yang berkelanjutan secara baik dan konsisten, sebab kalau tidak maka akan terjadi kerusakan sumber daya hutan yang akan berakibat pula pada kerusakan lingkungan secara menyeluruh baik fisik maupun sosial ekonomi dan budaya.
Untuk itulah diperlukan adanya pemahaman yang mendalam dan luas tentang pengelolaan sumber daya hutan yang berkelanjutan dalam upaya menjaga kelestarian lingkungan hidup.
II. SUMBER DAYA HUTAN SUATU KESATUAN EKOSISTEM
Sumber daya hutan dipandang sebagai suatu kesatuan ekosistem, komponen utama sumberdaya hutan merupakan tumbuh-tumbuhan. Dalam kawasan hutan terdapat berbagaimacam sumber daya hayati dan fisik yang saling berhubungan dan ketergantungan satu sama lainnya.
Sumber daya hutan ini merupakan sumber daya alam (SDA) yang potensial untuk diperbaharui. Menurut Yakin (1997), SDA jenis ini adalah sumberdaya yang bisa habis dalam jangka pendek jika digunakan dan dicemari secara cepat tetapi akhirnya bisa diganti melalui proses alam, misalnya pohon-pohon di hutan, rumput di padang rumput, deposit air tanah, udara segar, dan lain-lain. Tapi itu tidak berarti bahwa SDA jenis ini tidak bisa habis atau pasti bisa diperbaharui, hal ini tergantung tingkat eksploitasi dan pemanfaatannya. Jika pemanfaatannya melampaui kemampuan teknologi dan alam untuk memproduksi kembali maka SDA jenis ini bisa berkurang bahkan habis terutama untuk jangka waktu tertentu. SDA jenis ini bisa dipertahankan ketersediaannya jika proses eksploitasinya atau pemanfaatanya berada pada titik produksi yang berkelanjutan (sustainable yield) yaitu pada kondisi dimana SDA itu bisa dimanfaatkan tanpa mengurangi kemampuannya untuk memproduksi kembali pada suatu wilayah tertentu atau seluruh dunia. Jika pemanfaatan SDA jenis ini melebihi tingkat berkelanjutan tersebut, maka suplai atau penawaran SDA jenis ini akan berkurang atau habis yang akhirnya mengakibatkan kepada proses degradasi lingkungan (environmental degradation).
III. PENYEBAB-PENYEBAB KERUSAKAN SUMBER DAYA HUTAN
DAN AKIBAT YANG DITIMBULKANNYA
Beberapa hal yang selama ini merupakan penyebab dari kerusakan hutan antara lain adalah (1) Perladangan liar, (2) Penebangan liar dan (3) kebakaran hutan. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Perladangan liar
Selama ini yang menimbulkan kerusakan sumber daya hutan yang diakibatkan oleh perladangan liar adalah karena terjadinya pertambahan penduduk yang tinggi sehingga membutuhkan lahan pertanian yang luas untuk digarap guna untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, dengan demikian terjadilah perladangan liar. Perladangan liar ini dilakukan oleh petani dengan mengusahakan lahan di kawasan hutan lindung yang selanjutnya ditanam dengan tanaman semusim. Selain itu perladangan liar ini dilakukan pula dengan menanam tanaman tahunan atau perkebunan, walaupun lahan hutan tersebut tetap tertutup oleh tanaman tahunan atau perkebunan tetapi tetap akan merusak ekosistem hutan tersebut karena keaneka ragaman hayati pada lahan hutan tersebut terganggu keseimbangannya.
Setiap kegiatan eksploitasi sumber daya hutan akan mempengaruhi keseimbangan ekosistem sumber daya hutan. Keterbukaan permukaan tanah sebagai akibat dari penebangan pohon-pohon, akan mempengaruhi iklim mikro seperti suhu udara yang meningkat dan kelembaban tanah menurun. Pada tanah-tanah yang terbuka, jatuhan air hujan akan mudah mengikis permukaan tanah, dengan demikian selanjutnya oleh run off tanah akan mudah terkikis, akibat selanjutnya adalah terjadinya erosi. Butiran-butiran tanah yang terkikis oleh air hujan terbawa hanyut oleh aliran sungai sehingga terjadi sedimentasi di daerah muara, akibatnya terjadi pendangkalan dan penyempitan di badan sungai.
2. Penebangan liar
Kerusakan sumber daya hutan yang disebabkan oleh penebangan liar ini dilakukan karena pemanfaatan sumber daya hutan dengan menebang pohon tanpa pilih. Tujuannya untuk memperoleh keuntungan ekonomi sesaat tetapi akibatnya dapat menimbulkan bencana.
Penebangan liar ini dapat terjadi oleh karena beberapa hal diantaranya karena prilaku masyarakat yang kurang peduli terhadap kelestarian sumberdaya hutan, sehingga untuk kepentingan keuntungan ekonomi jangka pendek mengeksploitasi sumber daya hutan secara berlebihan yang pada akhirnya dalam jangka panjang dapat menimbulkan kerugian yang lebih besar.
Akibat jangka panjang dari penebangan liar ini adalah dapat menimbulkan kerusakan ekosistem sumber daya hutan, karena terganggunya keseimbangan ekosistem hutan tersebut baik vegetasinya maupun spesies-spesies hewan yang ada pada lokasi sumber daya hutan tersebut. Akibat lain dari penebangan liar ini dapat terjadi kerusakan pada kawasan hutan lindung, timbulnya padang alang-alang dan gundulnya hutan serta rusaknya hutan di kawasan resapan air menyebabkan tidak tertampungnya curah hujan yang menimbulkan erosi dan banjir.
3. Kebakaran hutan
Kerusakan sumber daya hutan yang disebabkan oleh kebakaran hutan merupakan persoalan yang menimbulkan dampak yang sangat luas dan sulit dikendalikan, dampaknya tidak hanya secara nasional tetapi juga secara Internasional.
Pada peristiwa kebakaran hutan terdapat beberapa komponen penting antara lain adalah adanya api, media atau bahan yang dapat terbakar dan cuaca panas atau kering. Komponen-komponen tersebut saling berkaitan satu sama lain dan apabila dipacu oleh faktor-faktor pendorong akan mengakibatkan kebakaran hutan yang sulit untuk dikendalikan.
Selain kebakaran hutan, terdapat pula pembakaran dalam rangka pembersihan hutan untuk persiapan lahan perkebunan dan transmigrasi dan juga untuk persiapan lahan pertanian tradisional untuk tanaman padi dan tanaman semusim lainnya.
Berdasarkan hasil penelitian Armanto dan Elisa (1998), penyebab kebakaran hutan dan lahan dapat dikelompokkan menjadi empat kategori yaitu (1) kegiatan pertanian; (2) alamiah; (3) biologis dan (4) sosial ekonomi dan budaya.
Faktor-faktor di atas berkaitan satu sama lainnya dan saling mendukung. Kecenderungan penyebab utama kebakaran hutan adalah kegiatan pertanian, hal ini diperkuat oleh hasil pemantauan Bapedal dan Kementerian Negara Lingkungan Hidup tahun 1998 yang menyatakan bahwa lebih dari 85 % kebakaran hutan secara sengaja dan terencana dilakukan oleh para pengusaha perkebunan, HPH dan HTI, 10 % oleh masyarakat lokal dan pendatang dalam melakukan kebiasaan land clearing menjelang kedatangan musim hujan, dan 5 % merupakan faktor-faktor lain yang tidak disengaja.
Kebakaran hutan yang disebabkan oleh berbagai faktor tersebut di atas dapat menimbulkan kerusakan hutan yang luas dan sulit untuk dikendalikan. Sebagai akibat selanjutnya dari kebakaran hutan tersebut adalah terjadinya kabut asap yang melanda beberapa kawasan, tidak hanya di lokasi kebakaran hutan, tetapi dampaknya meluas ke berbagai kawasan bahkan sampai meluas ke negara tetangga. Akibat lainnya adalah hutan menjadi gundul dan rusaknya ekosistem sumberdaya hutan, sehingga dapat menumbuhkan berbagai akibat lainnya yaitu diantaranya hilangnya beberapa spesies penting baik flora maupun fauna, dan terjadinya erosi serta banjir, karena tidak tertampungnya air hujan.
Akibat lain dari kerusakan sumber daya hutan baik karena penebangan liar maupun kebakaran hutan adalah menjadi sumber Gas Rumah Kaca (GRK) yang berupa CO2, metan dan NO2. GRK ini akan menyerap sinar infra merah dan akan efektif meningkatkan temperatur permukaan bumi (Soemarwoto, 1990).
IV. PENGELOLAAN SUMBER DAYA HUTAN YANG
BERKELANJUTAN
1. Pentingnya Pengelolaan Sumber Daya Hutan yang Berkelanjutan
Dengan melihat betapa pentingnya kelestarian sumber daya hutan bagi kehidupan manusia dan lingkungan, demikian juga betapa besar bencana yang ditimbulkan akibat kerusakan pada sumber daya hutan seperti banjir, tanah longsor, erosi, pendangkalan sungai, rusaknya ekosistem hutan, hilangnya spesies-spesies penting baik flora maupun fauna, terganggunya iklim mikro, pemanasan global dan lain-lainnya maka perlu dilakukan upaya pengelolaan sumberdaya hutan yang baik, benar dan berkelanjutan.
Tujuan pengelolaan sumber daya hutan yang berkelanjutan ini adalah untuk menjaga kelestarian sumber daya hutan dan kelestarian lingkungan untuk kepentingan hidup manusia saat sekarang dan generasi yang akan datang.
Sumber daya hutan merupakan sumber daya alam yang sangat erat keterkaitannya dengan lingkungan hidup, baik secara fisik maupun sosial budaya. Kerusakan sumber daya hutan dapat berdampak pada kerusakan iklim, kerusakan sungai dan kerusakan lingkungan hidup manusia. Oleh karena itu dalam pengelolaan sumber daya hutan tidak terlepas dari pengelolaan sumber daya alam secara komprehensif dan berkelanjutan.
Pengelolaan sumber daya hutan yang berkelanjutan harus mempertimbangkan berbagai aspek yaitu aspek ekonomi, sosial budaya dan lingkungan, agar pengelolaan sumber daya hutan yang berkelanjutan tersebut dapat dilakukan dan berhasil dalam mewujudkan kelestarian sumber daya hutan dan meningkatkan kesejahteraan manusia.
2. Pengendalian Pemanfaatan Sumber Daya Hutan yang Berkelanjutan
Pengelolaan sumber daya hutan yang berkelanjutan menganut prinsip memanfaatkan sumber daya hutan secara rasional dan bijaksana. Menurut Asdak (2001) untuk tercapai pemanfaatan sumber daya alam (termasuk juga sumber daya hutan) yang berkelanjutan diperlukan landasan berfikir sebagai berikut :
a. Pertimbangan ekonomi dan ekologi harus selaras, karena prinsip pengelolaan harus mengusahakan tercapainya kesejahteraan masyarakat dengan mempertahankan kelestarian sumber daya alam.
b. Pengelolaan sumber daya alam mencakup masalah ekploitasi dan pembinaan dengan tujuan mengusahakan agar penurunan daya produksi sumber daya alam sebagai akibat eksploitasi diimbangi dengan tindakan konservasi dan pembinaan, dengan demikian manfaat maksimal sumber daya alam dapat diperoleh secara berkelanjutan.
c. Untuk mencegah benturan kepentingan antara sektor-sektor yang memanfaatkan sumber daya alam perlu diupayakan pendekatan multidisiplin dalam bentuk integrasi usaha pengelolaan, khususnya integrasi dalam masalah tataguna lahan dan perencanaan wilayah.
d. Pengelolaan sumber daya alam yang diharapkan berkelanjutan tersebut mencakup aktivitas inventarisasi, perencanaan, implementasi, dan pengawasan.
e. Mempertimbangkan sumber daya alam dan lingkungan hidup merupakan ekosistem yang bersifat kompleks, maka diperlukan metode inventarisasi dan perencanaan yang terpadu serta organisasi pelaksana (kelembagaan) dan pengawasan yang terkoordinasi dengan baik.
Untuk menjaga kelestarian sumber daya hutan, maka dalam pemanfaatannya perlu dikendalikan. Hal ini dimaksudkan agar dalam pemanfaatan sumber daya hutan tidak hanya mementingkan aspek keuntungan ekonomi saja tetapi harus mempertimbangkan aspek kelestarian sumber daya hutan tersebut, agar tidak terjadi kerusakan ekosistem hutan.
Menurut Soemarwoto (1990), hutan adalah sumber daya, karena itu sudahlah wajar untuk memanfaatkan hutan bagi pembangunan, asalkan pemanfaatan itu dilakukan secara terlanjutkan. Seperti telah diketahui bahwa hutan yang dewasa ada dalam keseimbangan dinamik. Jika dilakukan penebangan dengan cara yang benar, misalnya dengan tebang pilih yang mengikuti aturan, kerusakan yang terjadi adalah minimum.
Pohon di tempat yang ditebang itu dipacu untuk tumbuh, sementara itu kayu yang ditebang diolah menjadi bahan jadi. Jika bahan jadi ini besifat awet, terakumulasilah biomassa kayu atau bahan lain yang awet, misalnya bahan bangunan dan mebel serta kertas dalam bentuk buku yang tersimpan dalam perpustakaan. Dalam bahan itu terkandung karbon. Jadi karbon pun terakumulasi, makin awet bahan tersebut, makin banyak terjadi akumulasi.
Dengan adanya akumulasi karbon dalam bahan awet itu, sebenarnya CO2 telah dipindahkan dari udara ke bahan itu, sehingga dengan akumulasi itu kadar CO2 udara menurun. Oleh karena itu jika penebangan terawasi dengan baik dan para pengusaha penebangan mempunyai kesadaran untuk melakukan penebangan secara terlanjutkan, penebangan itu tidaklah merugikan, melainkan justru menguntungkan dalam usaha menjaga kelestarian lingkungan hidup. Dengan demikian untuk menjaga kelestarian sumber daya hutan maka harus diupayakan pemanfaatan hutan dengan tebang pilih dan penanaman hutan kembali.
Tindakan yang dapat dilakukan dalam pengendalian pemanfaatan sumber daya hutan adalah konservasi. Menurut Suparmoko (1997), konservasi adalah suatu tindakan untuk mencegah pengurasan sumber daya alam dengan cara pengambilan yang tidak berlebihan sehingga dalam jangka panjang sumber daya alam tetap tersedia. Tindakan-tindakan konservasi dapat berupa: Pertama melakukan perencanaan terhadap pengambilan sumber daya alam; kedua mengusahakan eksploitasi sumberdaya alam secara efisien; ketiga mengembangkan sumber daya alternatif; keempat menggunakan unsur-unsur teknologi yang sesuai dalam mengeksploitasi sumber daya alam dan kelima mengurangi, membatasi dan mengatasi pencemaran lingkungan.
3. Paradigma Baru Pengolaan Sumber Daya Hutan yang Berkelanjutan
Untuk keberlanjutan pengelolaan sumber daya hutan diperlukan suatu pemahaman mengenai pengelolaan sumber daya hutan tersebut. Dengan pemahaman tersebut diharapkan dapat menimbulkan daya tarik dan tanggung jawab serta kesadaran bagi setiap orang untuk secara sadar dan bertanggung jawab mengelola dan menjaga sumber daya hutan agar tetap lestari. Oleh sebab itu perlu adanya paradigma baru dalam pengelolaan sumber daya hutan tersebut.
Menurut Drengson and taylor (1997) dalam Asdak (2002), paradigma baru pengelolaan sumber daya hutan diarahkan pada konsep Ecoforestry yaitu pengelolaan sumber daya hutan yang memperhatikan aspek ekosistem secara keseluruhan. Dalam konsep Ecoforestry ini mencakup berbagai aspek yang menjadi fokus perhatian pengelolaan sumber daya hutan, yang meliputi :
a. Hutan dipandang sebagai komunitas lingkungan dalam suatu kesatuan (Forests are ecological communities).
b. Pengelolaan sumber daya hutan dalam jangka panjang dan berkelanjutan (Long-term sustainability).
c. Model pengelolaan sumber daya hutan dengan memperhatikan ekosistem dalam suatu kesatuan (Ecosystem management model).
d. Tidak menggunakan bahan kimia dalam pengelolaan sumber daya hutan (No chemical).
e. Pemanfaatan sumber daya hutan dengan tebang pilih (Slective cutting).
f. Pengelolaan sumber daya hutan menitik beratkan terhadap semua umur dan jenis tumbuhan (All age and spesies of trees).
g. Pengelolaan sumber daya hutan dengan memanfaatkan tenaga keraja secara intensif dan berbasis lokal (Labor-intensive and locally based).
h. Pengelolaan sumber daya hutan tetap menjaga keadaan atau desain alami yang ada (accepting nature's design).
i. Pengelolaan sumber daya hutan tetap memberikan pengertian/perhatian terhadap kebijakan dan kesucian alam (Sense of the secred and misterious) dalam artian tidak merusak keseimbangan ekosistem dan berbagai plasma nutfah yang ada.
BAHAN BACAAN
Armanto, M.E. dan Elisa, W., 1998. Analisis Permasalahan Kebakaran Hutan dan Lahan dalam Pembangunan Pertanian dalam Arti Luas, Jurnal Lingkungan dan Pembangunan, Volume 18, Nomor 4, 1998, Jakarta.
Asdak, C., 2001. Pengelolaan Sumberdaya Alam dalam Konteks Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Makalah Untuk Pelatihan Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah, Departemen Kehutanan, Cilampuyang, Garut, 9 Oktober 2001.
Asdak, C., 2002. Bahan Kuliah Ekonomi Sumberdaya pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung.
Irianto, T.Y.P., 1999. Karakteristik Umum Tataguna Tanah, Iklim, dan Geomorfologi dalam Kaitannya dengan Ekoturisme di Taman Nasional Gunung Halimun, Jurnal Lingkungan dan Pembangunan, Volume 19, Nomor 2, 1999, Jakarta.
Karmana, M.H., 2003. Materi Kuliah Strategi Ekonomi Pemanfaatan Sumberdaya Alam pada Program Doktor Universitas Padjadjaran, Bandung.
Soemarwoto, O., 1990. Hutan dan Isu Pemanasan Global, Makalah Pada lokakarya Pembangunan Kehutanan Yang Terlanjutkan, Bandung, 7 - 8 Mei 1990.
Suparmoko, M., 1997. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan (Suatu Pendekatan Teoritis), BPFE, Yogyakarta.
Yakin, A., 1997. Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan Teori dan Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan, Akademik Presindo, Jakarta.
OLEH : HASANAWI MASTURI
I. SUMBER DAYA ALAM DAN SUMBER DAYA HUTAN
Allah berfirman dalam Al Qur’an “Dan Kami hamparkan bumi itu dan Kami letakkan padanya gunung-gunung yang kokoh dan kami tumbuhkan padanya segala macam tanaman yang indah dipandang mata. Untuk menjadi pelajaran dan peringatan bagi tiap-tiap hamba yang mengingat Allah” (QS. 50:7-8). Firman Allah tersebut menggambarkan betapa sempurnanya bumi ciptaan Allah tersebut, yang mesti harus disyukuri dan dipelihara oleh manusia sebagi khalifah di muka bumi ini.
Sumber daya alam (natural resources) adalah segala sesuatu yang diproleh dari lingkungan fisik untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan umat manusia atau dengan kata lain sumberdaya alam adalah sumbangan bumi berupa benda hidup atau benda mati (living and nonliving endowments) yang bisa diekploitasi aleh manusia sebagai sumber makanan, bahan mentah dan energi (Yakin, 1997).
Karakteristik sumber daya alam meliputi sumber daya alam yang dapat diperbaharui (renewable resources), sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui (nonrenewable resources) dan sumber daya alam gabungan yang dapat dan tidak dapat diperbaharui (Karmana, 2003).
Ada tiga tipe/jenis sumber daya alam yaitu sumber daya alam yang tidak pernah habis-habis (renewable perpetual resources) antara lain sinar matahari, angin, lahan dan sebagainya; sumber daya alam yang tidak bisa diperbaharui (nonrenewable resources) antara lain minyak bumi, gas alam, mineral non energi dan sebagainya; sumber daya alam yang secara potensial bisa diperbaharui (potentially renewable resources) antara lain udara segar, air bersih, tanaman dan sebagainya (Yakin,1997).
Sumber daya hutan merupakan satu kesatuan ekosistem yang komponen utamanya adalah tumbuh-tumbuhan yang potensial untuk diperbaharui. Sumberdaya hutan sangat penting bagi lingkungan hidup manusia, karena memegang peranan dalam proses ekologi yang merupakan sistem pendukung kehidupan di bumi ini.
Fungsi hutan sebagai penghasil kayu dan penghasil hutan lainnya, peredam erosi, banjir, tanah longsor, abrasi pantai dan pembuat iklim mikro serta sebagai sumber plasma nutfah (gen pool). Selain itu kawasan hutan dapat dikonversi bagi kepentingan pembangunan di sektor lain (Irianto, 1999).
Hutan memiliki fungsi melindungi tanah, karena adanya vegetasi secara alam yang menutup tanah, sehingga tanah dapat terlindung dari pengikisan oleh air hujan dan juga hutan berperan penting dalam mengatur tata air, karena adanya efek spons yang dimiliki oleh hutan yang bekerja dengan menyerap air kemudian menahannya sehingga air akan mengalir lebih lambat dan merata ke dalam sistem sungai. Dengan demikian hutan akan dapat mencegah terjadinya banjir dan erosi serta tanah longsor pada saat musim hujan, demikian pula sebaliknya pada musim kemarau hutan dapat terus mensuplai air sehingga terhindar dari bahaya kekeringan.
Mengingat betapa pentingnya keberadaan hutan dalam menjaga stabilitas lingkungan hidup, maka kelestarian sumber daya hutan sangat penting untuk dijaga. Kerusakan sumber daya hutan dapat menimbulkan kerusakan ekosistem hutan, hilangnya spesies-spesies tertentu baik flora maupun fauna, dan juga dapat menimbulkan bencana alam seperti banjir dan tanah longsor, serta pendangkalan daerah aliran sungai.
Dengan demikian untuk manjaga kelestarian sumber daya hutan dalam upaya menjaga lingkungan hidup, maka sangat dibutuhkan pengelolaan sumber daya hutan yang berkelanjutan secara baik dan konsisten, sebab kalau tidak maka akan terjadi kerusakan sumber daya hutan yang akan berakibat pula pada kerusakan lingkungan secara menyeluruh baik fisik maupun sosial ekonomi dan budaya.
Untuk itulah diperlukan adanya pemahaman yang mendalam dan luas tentang pengelolaan sumber daya hutan yang berkelanjutan dalam upaya menjaga kelestarian lingkungan hidup.
II. SUMBER DAYA HUTAN SUATU KESATUAN EKOSISTEM
Sumber daya hutan dipandang sebagai suatu kesatuan ekosistem, komponen utama sumberdaya hutan merupakan tumbuh-tumbuhan. Dalam kawasan hutan terdapat berbagaimacam sumber daya hayati dan fisik yang saling berhubungan dan ketergantungan satu sama lainnya.
Sumber daya hutan ini merupakan sumber daya alam (SDA) yang potensial untuk diperbaharui. Menurut Yakin (1997), SDA jenis ini adalah sumberdaya yang bisa habis dalam jangka pendek jika digunakan dan dicemari secara cepat tetapi akhirnya bisa diganti melalui proses alam, misalnya pohon-pohon di hutan, rumput di padang rumput, deposit air tanah, udara segar, dan lain-lain. Tapi itu tidak berarti bahwa SDA jenis ini tidak bisa habis atau pasti bisa diperbaharui, hal ini tergantung tingkat eksploitasi dan pemanfaatannya. Jika pemanfaatannya melampaui kemampuan teknologi dan alam untuk memproduksi kembali maka SDA jenis ini bisa berkurang bahkan habis terutama untuk jangka waktu tertentu. SDA jenis ini bisa dipertahankan ketersediaannya jika proses eksploitasinya atau pemanfaatanya berada pada titik produksi yang berkelanjutan (sustainable yield) yaitu pada kondisi dimana SDA itu bisa dimanfaatkan tanpa mengurangi kemampuannya untuk memproduksi kembali pada suatu wilayah tertentu atau seluruh dunia. Jika pemanfaatan SDA jenis ini melebihi tingkat berkelanjutan tersebut, maka suplai atau penawaran SDA jenis ini akan berkurang atau habis yang akhirnya mengakibatkan kepada proses degradasi lingkungan (environmental degradation).
III. PENYEBAB-PENYEBAB KERUSAKAN SUMBER DAYA HUTAN
DAN AKIBAT YANG DITIMBULKANNYA
Beberapa hal yang selama ini merupakan penyebab dari kerusakan hutan antara lain adalah (1) Perladangan liar, (2) Penebangan liar dan (3) kebakaran hutan. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Perladangan liar
Selama ini yang menimbulkan kerusakan sumber daya hutan yang diakibatkan oleh perladangan liar adalah karena terjadinya pertambahan penduduk yang tinggi sehingga membutuhkan lahan pertanian yang luas untuk digarap guna untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, dengan demikian terjadilah perladangan liar. Perladangan liar ini dilakukan oleh petani dengan mengusahakan lahan di kawasan hutan lindung yang selanjutnya ditanam dengan tanaman semusim. Selain itu perladangan liar ini dilakukan pula dengan menanam tanaman tahunan atau perkebunan, walaupun lahan hutan tersebut tetap tertutup oleh tanaman tahunan atau perkebunan tetapi tetap akan merusak ekosistem hutan tersebut karena keaneka ragaman hayati pada lahan hutan tersebut terganggu keseimbangannya.
Setiap kegiatan eksploitasi sumber daya hutan akan mempengaruhi keseimbangan ekosistem sumber daya hutan. Keterbukaan permukaan tanah sebagai akibat dari penebangan pohon-pohon, akan mempengaruhi iklim mikro seperti suhu udara yang meningkat dan kelembaban tanah menurun. Pada tanah-tanah yang terbuka, jatuhan air hujan akan mudah mengikis permukaan tanah, dengan demikian selanjutnya oleh run off tanah akan mudah terkikis, akibat selanjutnya adalah terjadinya erosi. Butiran-butiran tanah yang terkikis oleh air hujan terbawa hanyut oleh aliran sungai sehingga terjadi sedimentasi di daerah muara, akibatnya terjadi pendangkalan dan penyempitan di badan sungai.
2. Penebangan liar
Kerusakan sumber daya hutan yang disebabkan oleh penebangan liar ini dilakukan karena pemanfaatan sumber daya hutan dengan menebang pohon tanpa pilih. Tujuannya untuk memperoleh keuntungan ekonomi sesaat tetapi akibatnya dapat menimbulkan bencana.
Penebangan liar ini dapat terjadi oleh karena beberapa hal diantaranya karena prilaku masyarakat yang kurang peduli terhadap kelestarian sumberdaya hutan, sehingga untuk kepentingan keuntungan ekonomi jangka pendek mengeksploitasi sumber daya hutan secara berlebihan yang pada akhirnya dalam jangka panjang dapat menimbulkan kerugian yang lebih besar.
Akibat jangka panjang dari penebangan liar ini adalah dapat menimbulkan kerusakan ekosistem sumber daya hutan, karena terganggunya keseimbangan ekosistem hutan tersebut baik vegetasinya maupun spesies-spesies hewan yang ada pada lokasi sumber daya hutan tersebut. Akibat lain dari penebangan liar ini dapat terjadi kerusakan pada kawasan hutan lindung, timbulnya padang alang-alang dan gundulnya hutan serta rusaknya hutan di kawasan resapan air menyebabkan tidak tertampungnya curah hujan yang menimbulkan erosi dan banjir.
3. Kebakaran hutan
Kerusakan sumber daya hutan yang disebabkan oleh kebakaran hutan merupakan persoalan yang menimbulkan dampak yang sangat luas dan sulit dikendalikan, dampaknya tidak hanya secara nasional tetapi juga secara Internasional.
Pada peristiwa kebakaran hutan terdapat beberapa komponen penting antara lain adalah adanya api, media atau bahan yang dapat terbakar dan cuaca panas atau kering. Komponen-komponen tersebut saling berkaitan satu sama lain dan apabila dipacu oleh faktor-faktor pendorong akan mengakibatkan kebakaran hutan yang sulit untuk dikendalikan.
Selain kebakaran hutan, terdapat pula pembakaran dalam rangka pembersihan hutan untuk persiapan lahan perkebunan dan transmigrasi dan juga untuk persiapan lahan pertanian tradisional untuk tanaman padi dan tanaman semusim lainnya.
Berdasarkan hasil penelitian Armanto dan Elisa (1998), penyebab kebakaran hutan dan lahan dapat dikelompokkan menjadi empat kategori yaitu (1) kegiatan pertanian; (2) alamiah; (3) biologis dan (4) sosial ekonomi dan budaya.
Faktor-faktor di atas berkaitan satu sama lainnya dan saling mendukung. Kecenderungan penyebab utama kebakaran hutan adalah kegiatan pertanian, hal ini diperkuat oleh hasil pemantauan Bapedal dan Kementerian Negara Lingkungan Hidup tahun 1998 yang menyatakan bahwa lebih dari 85 % kebakaran hutan secara sengaja dan terencana dilakukan oleh para pengusaha perkebunan, HPH dan HTI, 10 % oleh masyarakat lokal dan pendatang dalam melakukan kebiasaan land clearing menjelang kedatangan musim hujan, dan 5 % merupakan faktor-faktor lain yang tidak disengaja.
Kebakaran hutan yang disebabkan oleh berbagai faktor tersebut di atas dapat menimbulkan kerusakan hutan yang luas dan sulit untuk dikendalikan. Sebagai akibat selanjutnya dari kebakaran hutan tersebut adalah terjadinya kabut asap yang melanda beberapa kawasan, tidak hanya di lokasi kebakaran hutan, tetapi dampaknya meluas ke berbagai kawasan bahkan sampai meluas ke negara tetangga. Akibat lainnya adalah hutan menjadi gundul dan rusaknya ekosistem sumberdaya hutan, sehingga dapat menumbuhkan berbagai akibat lainnya yaitu diantaranya hilangnya beberapa spesies penting baik flora maupun fauna, dan terjadinya erosi serta banjir, karena tidak tertampungnya air hujan.
Akibat lain dari kerusakan sumber daya hutan baik karena penebangan liar maupun kebakaran hutan adalah menjadi sumber Gas Rumah Kaca (GRK) yang berupa CO2, metan dan NO2. GRK ini akan menyerap sinar infra merah dan akan efektif meningkatkan temperatur permukaan bumi (Soemarwoto, 1990).
IV. PENGELOLAAN SUMBER DAYA HUTAN YANG
BERKELANJUTAN
1. Pentingnya Pengelolaan Sumber Daya Hutan yang Berkelanjutan
Dengan melihat betapa pentingnya kelestarian sumber daya hutan bagi kehidupan manusia dan lingkungan, demikian juga betapa besar bencana yang ditimbulkan akibat kerusakan pada sumber daya hutan seperti banjir, tanah longsor, erosi, pendangkalan sungai, rusaknya ekosistem hutan, hilangnya spesies-spesies penting baik flora maupun fauna, terganggunya iklim mikro, pemanasan global dan lain-lainnya maka perlu dilakukan upaya pengelolaan sumberdaya hutan yang baik, benar dan berkelanjutan.
Tujuan pengelolaan sumber daya hutan yang berkelanjutan ini adalah untuk menjaga kelestarian sumber daya hutan dan kelestarian lingkungan untuk kepentingan hidup manusia saat sekarang dan generasi yang akan datang.
Sumber daya hutan merupakan sumber daya alam yang sangat erat keterkaitannya dengan lingkungan hidup, baik secara fisik maupun sosial budaya. Kerusakan sumber daya hutan dapat berdampak pada kerusakan iklim, kerusakan sungai dan kerusakan lingkungan hidup manusia. Oleh karena itu dalam pengelolaan sumber daya hutan tidak terlepas dari pengelolaan sumber daya alam secara komprehensif dan berkelanjutan.
Pengelolaan sumber daya hutan yang berkelanjutan harus mempertimbangkan berbagai aspek yaitu aspek ekonomi, sosial budaya dan lingkungan, agar pengelolaan sumber daya hutan yang berkelanjutan tersebut dapat dilakukan dan berhasil dalam mewujudkan kelestarian sumber daya hutan dan meningkatkan kesejahteraan manusia.
2. Pengendalian Pemanfaatan Sumber Daya Hutan yang Berkelanjutan
Pengelolaan sumber daya hutan yang berkelanjutan menganut prinsip memanfaatkan sumber daya hutan secara rasional dan bijaksana. Menurut Asdak (2001) untuk tercapai pemanfaatan sumber daya alam (termasuk juga sumber daya hutan) yang berkelanjutan diperlukan landasan berfikir sebagai berikut :
a. Pertimbangan ekonomi dan ekologi harus selaras, karena prinsip pengelolaan harus mengusahakan tercapainya kesejahteraan masyarakat dengan mempertahankan kelestarian sumber daya alam.
b. Pengelolaan sumber daya alam mencakup masalah ekploitasi dan pembinaan dengan tujuan mengusahakan agar penurunan daya produksi sumber daya alam sebagai akibat eksploitasi diimbangi dengan tindakan konservasi dan pembinaan, dengan demikian manfaat maksimal sumber daya alam dapat diperoleh secara berkelanjutan.
c. Untuk mencegah benturan kepentingan antara sektor-sektor yang memanfaatkan sumber daya alam perlu diupayakan pendekatan multidisiplin dalam bentuk integrasi usaha pengelolaan, khususnya integrasi dalam masalah tataguna lahan dan perencanaan wilayah.
d. Pengelolaan sumber daya alam yang diharapkan berkelanjutan tersebut mencakup aktivitas inventarisasi, perencanaan, implementasi, dan pengawasan.
e. Mempertimbangkan sumber daya alam dan lingkungan hidup merupakan ekosistem yang bersifat kompleks, maka diperlukan metode inventarisasi dan perencanaan yang terpadu serta organisasi pelaksana (kelembagaan) dan pengawasan yang terkoordinasi dengan baik.
Untuk menjaga kelestarian sumber daya hutan, maka dalam pemanfaatannya perlu dikendalikan. Hal ini dimaksudkan agar dalam pemanfaatan sumber daya hutan tidak hanya mementingkan aspek keuntungan ekonomi saja tetapi harus mempertimbangkan aspek kelestarian sumber daya hutan tersebut, agar tidak terjadi kerusakan ekosistem hutan.
Menurut Soemarwoto (1990), hutan adalah sumber daya, karena itu sudahlah wajar untuk memanfaatkan hutan bagi pembangunan, asalkan pemanfaatan itu dilakukan secara terlanjutkan. Seperti telah diketahui bahwa hutan yang dewasa ada dalam keseimbangan dinamik. Jika dilakukan penebangan dengan cara yang benar, misalnya dengan tebang pilih yang mengikuti aturan, kerusakan yang terjadi adalah minimum.
Pohon di tempat yang ditebang itu dipacu untuk tumbuh, sementara itu kayu yang ditebang diolah menjadi bahan jadi. Jika bahan jadi ini besifat awet, terakumulasilah biomassa kayu atau bahan lain yang awet, misalnya bahan bangunan dan mebel serta kertas dalam bentuk buku yang tersimpan dalam perpustakaan. Dalam bahan itu terkandung karbon. Jadi karbon pun terakumulasi, makin awet bahan tersebut, makin banyak terjadi akumulasi.
Dengan adanya akumulasi karbon dalam bahan awet itu, sebenarnya CO2 telah dipindahkan dari udara ke bahan itu, sehingga dengan akumulasi itu kadar CO2 udara menurun. Oleh karena itu jika penebangan terawasi dengan baik dan para pengusaha penebangan mempunyai kesadaran untuk melakukan penebangan secara terlanjutkan, penebangan itu tidaklah merugikan, melainkan justru menguntungkan dalam usaha menjaga kelestarian lingkungan hidup. Dengan demikian untuk menjaga kelestarian sumber daya hutan maka harus diupayakan pemanfaatan hutan dengan tebang pilih dan penanaman hutan kembali.
Tindakan yang dapat dilakukan dalam pengendalian pemanfaatan sumber daya hutan adalah konservasi. Menurut Suparmoko (1997), konservasi adalah suatu tindakan untuk mencegah pengurasan sumber daya alam dengan cara pengambilan yang tidak berlebihan sehingga dalam jangka panjang sumber daya alam tetap tersedia. Tindakan-tindakan konservasi dapat berupa: Pertama melakukan perencanaan terhadap pengambilan sumber daya alam; kedua mengusahakan eksploitasi sumberdaya alam secara efisien; ketiga mengembangkan sumber daya alternatif; keempat menggunakan unsur-unsur teknologi yang sesuai dalam mengeksploitasi sumber daya alam dan kelima mengurangi, membatasi dan mengatasi pencemaran lingkungan.
3. Paradigma Baru Pengolaan Sumber Daya Hutan yang Berkelanjutan
Untuk keberlanjutan pengelolaan sumber daya hutan diperlukan suatu pemahaman mengenai pengelolaan sumber daya hutan tersebut. Dengan pemahaman tersebut diharapkan dapat menimbulkan daya tarik dan tanggung jawab serta kesadaran bagi setiap orang untuk secara sadar dan bertanggung jawab mengelola dan menjaga sumber daya hutan agar tetap lestari. Oleh sebab itu perlu adanya paradigma baru dalam pengelolaan sumber daya hutan tersebut.
Menurut Drengson and taylor (1997) dalam Asdak (2002), paradigma baru pengelolaan sumber daya hutan diarahkan pada konsep Ecoforestry yaitu pengelolaan sumber daya hutan yang memperhatikan aspek ekosistem secara keseluruhan. Dalam konsep Ecoforestry ini mencakup berbagai aspek yang menjadi fokus perhatian pengelolaan sumber daya hutan, yang meliputi :
a. Hutan dipandang sebagai komunitas lingkungan dalam suatu kesatuan (Forests are ecological communities).
b. Pengelolaan sumber daya hutan dalam jangka panjang dan berkelanjutan (Long-term sustainability).
c. Model pengelolaan sumber daya hutan dengan memperhatikan ekosistem dalam suatu kesatuan (Ecosystem management model).
d. Tidak menggunakan bahan kimia dalam pengelolaan sumber daya hutan (No chemical).
e. Pemanfaatan sumber daya hutan dengan tebang pilih (Slective cutting).
f. Pengelolaan sumber daya hutan menitik beratkan terhadap semua umur dan jenis tumbuhan (All age and spesies of trees).
g. Pengelolaan sumber daya hutan dengan memanfaatkan tenaga keraja secara intensif dan berbasis lokal (Labor-intensive and locally based).
h. Pengelolaan sumber daya hutan tetap menjaga keadaan atau desain alami yang ada (accepting nature's design).
i. Pengelolaan sumber daya hutan tetap memberikan pengertian/perhatian terhadap kebijakan dan kesucian alam (Sense of the secred and misterious) dalam artian tidak merusak keseimbangan ekosistem dan berbagai plasma nutfah yang ada.
BAHAN BACAAN
Armanto, M.E. dan Elisa, W., 1998. Analisis Permasalahan Kebakaran Hutan dan Lahan dalam Pembangunan Pertanian dalam Arti Luas, Jurnal Lingkungan dan Pembangunan, Volume 18, Nomor 4, 1998, Jakarta.
Asdak, C., 2001. Pengelolaan Sumberdaya Alam dalam Konteks Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Makalah Untuk Pelatihan Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah, Departemen Kehutanan, Cilampuyang, Garut, 9 Oktober 2001.
Asdak, C., 2002. Bahan Kuliah Ekonomi Sumberdaya pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung.
Irianto, T.Y.P., 1999. Karakteristik Umum Tataguna Tanah, Iklim, dan Geomorfologi dalam Kaitannya dengan Ekoturisme di Taman Nasional Gunung Halimun, Jurnal Lingkungan dan Pembangunan, Volume 19, Nomor 2, 1999, Jakarta.
Karmana, M.H., 2003. Materi Kuliah Strategi Ekonomi Pemanfaatan Sumberdaya Alam pada Program Doktor Universitas Padjadjaran, Bandung.
Soemarwoto, O., 1990. Hutan dan Isu Pemanasan Global, Makalah Pada lokakarya Pembangunan Kehutanan Yang Terlanjutkan, Bandung, 7 - 8 Mei 1990.
Suparmoko, M., 1997. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan (Suatu Pendekatan Teoritis), BPFE, Yogyakarta.
Yakin, A., 1997. Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan Teori dan Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan, Akademik Presindo, Jakarta.
BUKU-BUKU KARANGAN DR. IR. HASANAWI MASTURI, M.P. YANG SUDAH TERBIT
DAFTAR BUKU-BUKU KARANGAN DR. IR. HASANAWI MASTURI, M.P. YANG TELAH DITERBITKAN
OLEH CV. PUSTAKA GRAFIKA BANDUNG
1. Agribisnis Udang Windu (ISBN : 978-979-730-735-6).
2. Agribisnis Bandeng (ISBN : 978-979-730-732-5).
3. Agribisnis Belut (ISBN : 978-979-730-734-9).
4. Agribisnis Ikan Patin (ISBN : 978-979-730-735-6).
5. Agribisnis Sepat (ISBN : 978-979-730-739-4).
6. Agribisnis Lele (ISBN : 978-979-730-730-1).
7. Agribisnis Ikan Nila (ISBN : 978-979-730-728-8).
8. Agribisnis Ikan Mas (ISBN : 978-979-730-942-8).
9. Agribisnis Ternak Ayam Buras Pedaging (ISBN : 978-979-730-929-9).
10. Agribisnis Ternak Sapi (ISBN : 978-979-730-950-3).
11. Agribisnis Ternak Domba (ISBN : 978-979-730-727-1).
12. Agribisnis Itik (ISBN : 978-979-730-949-7).
13. Agribisnis Burung Puyuh (ISBN : 978-979-730-740-0).
14. Agribisnis Ikan Gurame (ISBN : 978-979-730-943-5).
15. Agribisnis Ikan Bawal (ISBN : 978-979-730-738-7).
16. Agribisnis Ikan Mujair (ISBN : 978-979-730-776-9).
17. Agribisnis Lobster (ISBN : 978-979-730-731-8).
OLEH CV. PUSTAKA GRAFIKA BANDUNG
1. Agribisnis Udang Windu (ISBN : 978-979-730-735-6).
2. Agribisnis Bandeng (ISBN : 978-979-730-732-5).
3. Agribisnis Belut (ISBN : 978-979-730-734-9).
4. Agribisnis Ikan Patin (ISBN : 978-979-730-735-6).
5. Agribisnis Sepat (ISBN : 978-979-730-739-4).
6. Agribisnis Lele (ISBN : 978-979-730-730-1).
7. Agribisnis Ikan Nila (ISBN : 978-979-730-728-8).
8. Agribisnis Ikan Mas (ISBN : 978-979-730-942-8).
9. Agribisnis Ternak Ayam Buras Pedaging (ISBN : 978-979-730-929-9).
10. Agribisnis Ternak Sapi (ISBN : 978-979-730-950-3).
11. Agribisnis Ternak Domba (ISBN : 978-979-730-727-1).
12. Agribisnis Itik (ISBN : 978-979-730-949-7).
13. Agribisnis Burung Puyuh (ISBN : 978-979-730-740-0).
14. Agribisnis Ikan Gurame (ISBN : 978-979-730-943-5).
15. Agribisnis Ikan Bawal (ISBN : 978-979-730-738-7).
16. Agribisnis Ikan Mujair (ISBN : 978-979-730-776-9).
17. Agribisnis Lobster (ISBN : 978-979-730-731-8).
Sabtu, 21 November 2009
ARTIKEL ILMIAH KEMITRAAN AGRIBISNIS JAGUNG
KEMITRAAN USAHA SUATU ALTERNATIF PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI PADA AGRIBISNIS JAGUNG
OLEH : HASANAWI MASTURI
I. PENDAHULUAN
Salah satu komoditi palawija yang memiliki peranan yang penting di Indonesia adalah jagung, karena merupakan sumber protein dan kalori yang sangat dibutuhkan oleh tubuh manusia. Nilai nutrisi jagung hampir seimbang dengan beras dan dapat menggantikan beras sebagai bahan makanan pokok.
Hampir sebagian besar jagung yang dihasilkan digunakan untuk bahan makanan manusia, terutama dalam bentuk tepung, digiling atau dimasak seperti beras atau dicampur dengan beras. Persentase kegunaan jagung di Indonesia adalah 71,7 persen untuk bahan makanan manusia, 15,5 persen untuk makanan ternak, 0,8 persen untuk industri, 0,1 persen untuk diekspor dan 11,9 persen untuk kegunaan lain (Sudjana dkk.,1991).
Produksi jagung di Indonesia masih relatif rendah dan masih belum dapat memenuhi kebutuhan konsumen yang cenderung terus meningkat. Menurut Subandi dkk. (1998), produksi jagung nasional belum mampu mengimbangi permintaan yang sebagian dipacu oleh pengembangan industri pakan dan pangan. Masih rendahnya produksi jagung ini disebabkan oleh berbagai faktor antara lain, seperti teknologi bercocok tanam yang masih kurang baik, kesiapan dan ketrampilan petani jagung yang masih kurang, penyediaan sarana produksi yang masih belum tepat serta kurangnya permodalan petani jagung untuk melaksanakan proses produksi sampai ke pemasaran hasil.
Umumnya agribisnis jagung dilakukan berskala kecil, karena masih banyaknya permasalahan yang dihadapi oleh petani jagung. Permasalahan klasik yang sering dihadapi oleh petani jagung adalah terbatasnya permodalan, manajemen usaha dan pemasaran hasil sehingga tidak dapat melakukan usaha dengan volume usaha yang luas dan lebih intensif serta pemasaran hasil dengan baik. Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produksi dan pendapatan petani jagung diantaranya adalah dengan system kemitraan usaha dalam agribisnis jagung.
II. PROSPEK AGRIBISNIS JAGUNG
Jagung memiliki potensi yang cukup besar untuk diusahakan secara agribisnis, hal ini karena tanaman ini memiliki prospek yang cerah untuk diusahakan baik dari aspek budidaya maupun dari aspek peluang pasar.
Dari aspek budidaya tanaman jagung tidak sulit untuk dibudidayakan. Tanaman jagung dapat tumbuh hampir di semua jenis tanah. Yang terpenting dan sangat berhubungan erat dengan hasil jagung adalah tersedianya unsur hara NPK pada tanah tersebut. Untuk pertumbuhan yang lebih baik lagi, tanaman jagung memerlukan tanah yang subur, gembur dan kaya humus (Sudjana dkk., 1991). Demikian juga benih jagung telah banyak varietas-varietas unggul yang dilepas. Menurut Rahmanto (1997), perkembangan daya hasil dari varietas-varietas unggul yang diadopsi petani telah terbukti memberikan sumbangan yang tidak kecil terhadap peningkatan produksi dan produktivitas jagung nasional.
Dari aspek peluang pasar tanaman jagung mempunyai prospek yang cerah untuk diusahakan, karena permintaan konsumen dalam negeri dan peluang ekspor yang terus meningkat. Rukmana (1997) mengemukakan bahwa prospek usahatani tanaman jagung cukup cerah bila dikelola secara intensif dan komersial berpola agribisnis. Permintaan pasar dalam negeri dan peluang ekspor komoditas jagung cenderung meningkat dari tahun ke tahun, baik untuk memenuhi kebutuhan pangan maupun non pangan. Disamping itu juga prospek pasar produksi jagung semakin baik, karena didukung oleh adanya kesadaran gizi dan diversifikasi bahan makanan pada masyarakat. Demikian juga untuk keperluan bahan baku industri rumah tangga seperti emping jagung, wingko jagung dan produk jagung olahan lainnya dan untuk keperluan bahan baku pakan ternak, serta untuk ekspor memerlukan produk jagung dalam jumlah yang besar. Keadaan ini merupakan peluang pasar yang potensial bagi petani dalam mengusahakan tanaman jagung. Dengan demikian peningkatan produksi jagung baik kualitas maupun kuantitas sangat penting.
III. SISTEM AGRIBISNIS JAGUNG
Secara konsepsional sistem agribisnis jagung merupakan keseluruhan aktivitas yang saling berkaitan mulai dari pembuatan dan pengadaan sarana produksi pertanian hingga pemasaran hasil jagung, baik hasil usahatani maupun hasil olahannya. Menurut Sa’id dan Intan (2001) sistem agribisnis terdiri dari subsistem pengadaan dan penyaluran sarana produksi, subsistem produksi primer, subsistem pengolahan, subsistem pemasaran dan lembaga penunjang.
Pada umumnya sistem agribisnis jagung yang dilakukan oleh petani antara lain meliputi :
1. Subsistem pembuatan, pengadaan dan penyaluran sarana produksi pertanian. Sarana produksi pertanian ini diperoleh petani dengan sistem pembelian atau dengan bantuan dalam bentuk kemitraan.
2. Subsistem produksi dalam usahatani. Kegiatan pada subsistem ini meliputi pemilihan benih jagung, penyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan tanaman dan panen.
3. Subsistem pengolahan hasil panen. Penanganan lepas panen jagung pada tingkat petani pada umumnya baru sampai pada pengeringan jagung tongkol dan pengupasan kulit jagung (klobot), hal ini karena petani belum memiliki alat teknologi dan biaya yang cukup untuk melakukan pengolahan lanjutan. Untuk tingkat pengolahan lanjutan seperti pemipilan dan pengolahan dilakukan pada tingkat pedagang atau perusahaan, sehingga nilai tambah yang besar biasanya berada pada tingkat ini.
4. Subsistem pemasaran hasil. Pola pemasaran jagung melalui jalur pemasaran yang beragam, diantaranya bagi petani yang tidak melakukan kemitraan usaha dengan perusahaan mitra biasanya pemasaran jagung dilakukan melalui pedagang pengumpul baik yang memfungsikan kelompok tani atau koperasi maupun yang tidak, ada pula yang langsung menjual produknya ke pabrik pengolahan atau langsung ke konsumen jika produk tersebut untuk langsung dikonsumsi. Bagi petani yang telah melakukan kemitraan usaha dengan perusahaan mitra pemasaran produk jagung dilakukan melalui kelompok tani atau koperasi, perusahaan mitra, pabrik pengolahan dan konsumen.
5. Kelembagaan pendukung agribisnis jagung pada umumnya adalah lembaga di tingkat petani dan lembaga di luar petani. Lembaga ditingkat petani terdiri dari kelompok tani dan koperasi, Lembaga di luar petani seperti pemerintah, lembaga keuangan, perusahaan dan lain-lain.
IV. KEMITRAAN USAHA PADA AGRIBISNIS JAGUNG
1. Landasan Perlunya Kemitraan Usaha pada Agribisnis Jagung
Pengembangan agribisnis jagung membutuhkan dukungan permodalan dan komitmen yang kuat, sementara itu kemampuan permodalan dan manajemen petani jagung untuk melakukan kegiatan usaha agribisnis jagung masih sangat terbatas, demikian juga dukungan pemerintah semakin berkurang dengan dikuranginya subsidi terhadap sarana produksi pertanian. Hal ini membutuhkan alternatif usaha untuk meningkatkan kemampuan petani dalam melaksanakan agribisnis jagung agar tidak tergantung terhadap bantuan pemerintah yang telah semakin berkurang itu.
Salah satu alternatif usaha yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kemampuan petani dalam melakukan agribisnis jagung adalah dengan melakukan kemitraan usaha dengan berbagai perusahaan, baik perusahaan swasta, maupun perusahaan milik pemerintah (BUMN/BUMD). Kemitraan usaha ini dimaksudkan untuk mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi petani jagung seperti pemodalan, manajemen dan pemasaran hasil, sehingga diharapkan dapat meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani disamping itu juga dapat memberikan keuntungan bagi perusahaan mitra.
Pada dasarnya kemitraan usaha dalam bidang pertanian telah dilakukan petani Indonesia sejak lama yang masih bersifat tradisional dan non formal, terutama di daerah-daerah perkebunan. Petani penggarap maupun pemilik di daerah perkebunan rakyat umumnya telah melakukan kemitraan dengan pedagang, system yang dilakukan biasanya dengan system kontrak. System kemitraan ini terus berkembang sesuai dengan tuntutan kebutuhan tidak hanya pada tanaman perkebunan, tetapi juga pada tanaman semusim.
Kemitraan usaha ini baru diformalkan sejak dikeluarkan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 9 tahun 1995 tentang Usaha Kecil pada tanggal 26 Desember 1995, kemudian disosialisasikan sejak tanggal 15 Mei 1996, pada saat itu pemerintah mencanangkan Gerakan Kemitraan Nasional (GKN). Pencanangan tersebut menggambarkan adanya perhatian dari pemerintah terhadap pengusaha kecil, jangan sampai usahanya terdesak oleh pengusaha yang lebih besar, sehingga lambat laun pengusaha kecil usahanya menjadi terhenti. Hal tersebut merupakan himbauan bagi pengusaha yang lebih besar untuk turut serta membantu mengembangkan perusahaan kecil, sehingga mereka bisa bertahan dan meningkatkan usahanya (Satiakusumah, 2002).
Berdasarkan pasal 1 ayat 8 Undang-Undang Republik Indonesia nomor 9 tahun 1995 tentang Usaha Kecil, yang dimaksud dengan kemitraan adalah kerjasama usaha antara usaha kecil dengan usaha menengah atau dengan usaha besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh usaha menengah atau usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan.
Dalam bidang pertanian berdasarkan pasal 1 keputusan menteri pertanian Republik Indonesia nomor : 940/Kpts/OT.210/10/97 tentang Pedoman Kemitraan Usaha Pertanian, yang dimaksud dengan kemitraan usaha pertanian adalah kerjasama antara perusahaan mitra dengan kelompok mitra dibidang usaha pertanian. Sedangkan pada pasal 2 keputusan ini menyatakan bahwa tujuan kemitraan usaha pertanian ini adalah untuk meningkatkan pendapatan, kesinambungan, meningkatkan kualitas kelompok mitra, peningkatan usaha, dalam rangka menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan usaha kelompok mitra yang mandiri. Pasal 3 pada keputusan ini menyatakan bahwa kemitraan usaha pertanian berdasarkan asas persamaan kedudukan, keselarasan dan peningkatan keterampilan kelompok mitra oleh perusahaan mitra melalui perwujudan sinergi kemitraan.
2. Beberapa Manfaat Kemitraan Usaha pada Agribisnis Jagung
Beberapa manfaat yang dapat diambil oleh petani jagung pada kemitraan usaha pertanian dengan perusahaan mitra dengan pola inti plasma antara lain adalah tersedianya fasilitas modal usaha yang murah (tanpa diperhitungkan bunga) yang selama ini tidak mudah diperoleh, terjaminya pemasaran hasil baik dari volume maupun harga yang memadai, pendapatan petani meningkat. Pada kemitraan pola inti plasma antara PT. BISI dengan kelompok tani pada tahun 1997 pendapatan petani dapat meningkat antara 14,9 persen hingga 72,9 persen, sedangkan manfaat lainnya adalah semakin meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petani dan kelompok tani dalam penerapan teknologi dan kelembagaan karena mendapat bimbingan dan pembinaan yang lebih intensif dari perusahaan inti. Bagi perusahaan mitra, kemitraan usaha memberikan manfaat berupa terjaminnya pasokan bahan baku jagung untuk industri pakan ternak pada tingkat harga yang wajar dalam arti masih memberikan keuntungan dan mendorong kegairahan usaha berkelanjutan bagi petani dan pihak perusahaan masih mampu melakukan efisiensi dalam proses industri pakan ternak, sehingga pada gilirannya harga pakan yang dijual tidak memberatkan bagi peternak (Hafsah, 1999). Menurut Hasanawi Mt. (2003), pendapatan petani jagung di Kecamatan Cilengkrang Kabupaten Bandung Propinsi Jawa Barat yang melakukan kemitraan usaha pertanian dengan PT. Dharma Niaga meningkat rata-rata sebesar 35,71 persen dibandingkan dengan sebelum melakukan kemitraan usaha pertanian tersebut, pola kemitraan usaha pertanian yang dilakukan adalah pola Kerjasama Operasional Agribisnis (KOA) yang disertai dengan pembinaan. Peningkatan ini antara lain dikarenakan produktivitas lahan petani meningkat karena penggunaan input produksi yang lebih baik.
3. Kendala dan Alternatif Model Kemitraan pada Agribisnis Jagung
Kendala yang sering terjadi dalam pelaksanaan kemitraan usaha dalam bidang pertanian khususnya dalam agribisnis jagung yang dapat menimbulkan kerugian pada pihak petani adalah masih rendahnya kualitas sumber daya manusia dan masih rendahnya tingkat pendapatan petani jagung, serta kurangnya komitmen dalam pelaksanaan mekanisme kemitraan usaha tersebut baik oleh petani maupun oleh perusahaan mitra.
Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal tersebut adalah dalam pelaksanaan kemitraan usaha diperlukan peningkatan dalam pembinaan dan kontrol. Fungsi pembinaan dan kotrol ini dapat dilakukan oleh pihak pemerintah maupun perusahaan mitra atau lembaga lain yang terlibat dalam kemitraan usaha tersebut.
Dalam kemitraan usaha pada bidang pertanian telah banyak diterapkan berbagai model hubungan kemitraan, dari yang tradisional hingga modern dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Model kemitraan usaha alternatif yang dapat diterapkan dalam agribisnis jagung dalam upaya untuk meningkatkan pendapatan petani jagung dan juga meningkatkan keuntungan bagi perusahaan mitra adalah sebagai berikut:
(1) Model kemitraan usaha dengan melibatkan satu perusahaan mitra. Pada model ini biasanya perusahaan mitra bertindak sebagai off farm business (sector hulu) dan sekaligus juga sebagai out farm business (sector hilir), sedangkan kelompok mitra sebagi on farm business (sector produksi/usahatani).
(2) Model kemitraan usaha dengan melibatkan lebih dari satu perusahaan mitra. Pada model ini biasanya ada perusahaan mitra yang bertindak sebagai off farm business (sector hulu) dan yang lainnya bertindak sebagai out farm business (sector hilir), sedangkan kelompok mitra sebagi on farm business (sector produksi/usahatani).
V. KESIMPULAN
1. Jagung memiliki potensi yang cukup besar untuk diusahakan secara agribisnis, hal ini karena tanaman ini memiliki prospek yang cerah untuk diusahakan baik dari aspek budidaya maupun dari aspek peluang pasar.
2. Salah satu alternatif usaha yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kemampuan petani dalam melakukan agribisnis jagung adalah dengan melakukan kemitraan usaha dengan berbagai perusahaan, baik perusahaan swasta, maupun perusahaan milik pemerintah (BUMN/BUMD).
3. Beberapa manfaat yang dapat diambil oleh petani jagung pada kemitraan usaha pertanian dengan perusahaan mitra antara lain adalah tersedianya fasilitas modal usaha yang murah (tanpa diperhitungkan bunga), terjaminya pemasaran hasil baik dari volume maupun harga yang memadai, pendapatan petani meningkat, semakin meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petani dan kelompok tani dalam penerapan teknologi dan kelembagaan karena mendapat bimbingan dan pembinaan yang lebih intensif dari perusahaan mitra. Bagi perusahaan mitra, kemitraan usaha memberikan manfaat berupa terjaminnya pasokan bahan baku jagung untuk industri pengolahan pada tingkat harga yang wajar dalam arti masih memberikan keuntungan dan mendorong kegairahan usaha berkelanjutan bagi petani dan pihak perusahaan masih mampu melakukan efisiensi dalam proses industri.
4. Kendala yang sering terjadi dalam pelaksanaan kemitraan usaha dalam bidang pertanian khususnya dalam agribisnis jagung yang dapat menimbulkan kerugian pada pihak petani adalah masih rendahnya kualitas sumber daya manusia dan masih rendahnya tingkat pendapatan petani jagung, serta kurangnya komitmen dalam pelaksanaan mekanisme kemitraan usaha tersebut, baik oleh petani maupun oleh perusahaan mitra. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal tersebut adalah dalam pelaksanaan kemitraan usaha diperlukan peningkatan dalam pembinaan dan kontrol. Fungsi pembinaan dan kotrol ini dapat dilakukan oleh pihak pemerintah maupun perusahaan mitra atau lembaga lain yang terlibat dalam kemitraan usaha tersebut.
5. Dalam kemitraan usaha pada bidang pertanian telah banyak diterapkan berbagai model hubungan kemitraan, model alternatif yang dapat dilaksanakan adalah model kemitraan usaha dengan melibatkan hanya satu perusahaan mitra dan model kemitraan yang melibatkan lebih dari satu perusahaan mitra.
DAFTAR PUSTAKA
Hafsah, M.J. 1999. Kemitraan Usaha Konsepsi dan Strategi. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.
Hasanawi Mt. 2003. Peranan Kemitraan Usaha Pertanian antara Petani Jagung dengan PT. Dharma Niaga dalam Meningkatkan Pendapatan Petani pada Agribisnis Jagung (Zea mays Linn.). Tesis Program Magister (S2) Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran. Bandung. (Unpublish).
Rahmanto, B. 1997. Perkembangan Adopsi Varietas Unggul Jagung Serta Dampaknya Terhadap Peningkatan Produksi dan Pendapatan Petani. Prosiding Agribisnis. Dinamika Sumberdaya dan Pengembangan Sistem Usaha Pertanian Buku II. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Bogor.
Rukmana, R. 1997. Usahatani Jagung. Kanisius. Yogyakarta.
Satiakusumah, H.R.E.D. 2002. Koperasi Prinsip-prinsip Dasar Koperasi dan Konsep Kemitraan. Fakultas Ekonomi Universitas Pasundan. Bandung.
Sa’id, E.G. dan A.H. Intan. 2001. Manajemen Agribisnis. Ghalia Indonesia. Jakarta.
Subandi, I.G. Ismail dan Hermanto. 1998. Jagung Teknologi Produksi dan Pasca Panen. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
Sudjana, A., A. Rifin dan M. Sudjadi. 1991. Jagung. Buletin Teknik No. 3. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Balai Penelitian Tanaman Pangan. Bogor.
OLEH : HASANAWI MASTURI
I. PENDAHULUAN
Salah satu komoditi palawija yang memiliki peranan yang penting di Indonesia adalah jagung, karena merupakan sumber protein dan kalori yang sangat dibutuhkan oleh tubuh manusia. Nilai nutrisi jagung hampir seimbang dengan beras dan dapat menggantikan beras sebagai bahan makanan pokok.
Hampir sebagian besar jagung yang dihasilkan digunakan untuk bahan makanan manusia, terutama dalam bentuk tepung, digiling atau dimasak seperti beras atau dicampur dengan beras. Persentase kegunaan jagung di Indonesia adalah 71,7 persen untuk bahan makanan manusia, 15,5 persen untuk makanan ternak, 0,8 persen untuk industri, 0,1 persen untuk diekspor dan 11,9 persen untuk kegunaan lain (Sudjana dkk.,1991).
Produksi jagung di Indonesia masih relatif rendah dan masih belum dapat memenuhi kebutuhan konsumen yang cenderung terus meningkat. Menurut Subandi dkk. (1998), produksi jagung nasional belum mampu mengimbangi permintaan yang sebagian dipacu oleh pengembangan industri pakan dan pangan. Masih rendahnya produksi jagung ini disebabkan oleh berbagai faktor antara lain, seperti teknologi bercocok tanam yang masih kurang baik, kesiapan dan ketrampilan petani jagung yang masih kurang, penyediaan sarana produksi yang masih belum tepat serta kurangnya permodalan petani jagung untuk melaksanakan proses produksi sampai ke pemasaran hasil.
Umumnya agribisnis jagung dilakukan berskala kecil, karena masih banyaknya permasalahan yang dihadapi oleh petani jagung. Permasalahan klasik yang sering dihadapi oleh petani jagung adalah terbatasnya permodalan, manajemen usaha dan pemasaran hasil sehingga tidak dapat melakukan usaha dengan volume usaha yang luas dan lebih intensif serta pemasaran hasil dengan baik. Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produksi dan pendapatan petani jagung diantaranya adalah dengan system kemitraan usaha dalam agribisnis jagung.
II. PROSPEK AGRIBISNIS JAGUNG
Jagung memiliki potensi yang cukup besar untuk diusahakan secara agribisnis, hal ini karena tanaman ini memiliki prospek yang cerah untuk diusahakan baik dari aspek budidaya maupun dari aspek peluang pasar.
Dari aspek budidaya tanaman jagung tidak sulit untuk dibudidayakan. Tanaman jagung dapat tumbuh hampir di semua jenis tanah. Yang terpenting dan sangat berhubungan erat dengan hasil jagung adalah tersedianya unsur hara NPK pada tanah tersebut. Untuk pertumbuhan yang lebih baik lagi, tanaman jagung memerlukan tanah yang subur, gembur dan kaya humus (Sudjana dkk., 1991). Demikian juga benih jagung telah banyak varietas-varietas unggul yang dilepas. Menurut Rahmanto (1997), perkembangan daya hasil dari varietas-varietas unggul yang diadopsi petani telah terbukti memberikan sumbangan yang tidak kecil terhadap peningkatan produksi dan produktivitas jagung nasional.
Dari aspek peluang pasar tanaman jagung mempunyai prospek yang cerah untuk diusahakan, karena permintaan konsumen dalam negeri dan peluang ekspor yang terus meningkat. Rukmana (1997) mengemukakan bahwa prospek usahatani tanaman jagung cukup cerah bila dikelola secara intensif dan komersial berpola agribisnis. Permintaan pasar dalam negeri dan peluang ekspor komoditas jagung cenderung meningkat dari tahun ke tahun, baik untuk memenuhi kebutuhan pangan maupun non pangan. Disamping itu juga prospek pasar produksi jagung semakin baik, karena didukung oleh adanya kesadaran gizi dan diversifikasi bahan makanan pada masyarakat. Demikian juga untuk keperluan bahan baku industri rumah tangga seperti emping jagung, wingko jagung dan produk jagung olahan lainnya dan untuk keperluan bahan baku pakan ternak, serta untuk ekspor memerlukan produk jagung dalam jumlah yang besar. Keadaan ini merupakan peluang pasar yang potensial bagi petani dalam mengusahakan tanaman jagung. Dengan demikian peningkatan produksi jagung baik kualitas maupun kuantitas sangat penting.
III. SISTEM AGRIBISNIS JAGUNG
Secara konsepsional sistem agribisnis jagung merupakan keseluruhan aktivitas yang saling berkaitan mulai dari pembuatan dan pengadaan sarana produksi pertanian hingga pemasaran hasil jagung, baik hasil usahatani maupun hasil olahannya. Menurut Sa’id dan Intan (2001) sistem agribisnis terdiri dari subsistem pengadaan dan penyaluran sarana produksi, subsistem produksi primer, subsistem pengolahan, subsistem pemasaran dan lembaga penunjang.
Pada umumnya sistem agribisnis jagung yang dilakukan oleh petani antara lain meliputi :
1. Subsistem pembuatan, pengadaan dan penyaluran sarana produksi pertanian. Sarana produksi pertanian ini diperoleh petani dengan sistem pembelian atau dengan bantuan dalam bentuk kemitraan.
2. Subsistem produksi dalam usahatani. Kegiatan pada subsistem ini meliputi pemilihan benih jagung, penyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan tanaman dan panen.
3. Subsistem pengolahan hasil panen. Penanganan lepas panen jagung pada tingkat petani pada umumnya baru sampai pada pengeringan jagung tongkol dan pengupasan kulit jagung (klobot), hal ini karena petani belum memiliki alat teknologi dan biaya yang cukup untuk melakukan pengolahan lanjutan. Untuk tingkat pengolahan lanjutan seperti pemipilan dan pengolahan dilakukan pada tingkat pedagang atau perusahaan, sehingga nilai tambah yang besar biasanya berada pada tingkat ini.
4. Subsistem pemasaran hasil. Pola pemasaran jagung melalui jalur pemasaran yang beragam, diantaranya bagi petani yang tidak melakukan kemitraan usaha dengan perusahaan mitra biasanya pemasaran jagung dilakukan melalui pedagang pengumpul baik yang memfungsikan kelompok tani atau koperasi maupun yang tidak, ada pula yang langsung menjual produknya ke pabrik pengolahan atau langsung ke konsumen jika produk tersebut untuk langsung dikonsumsi. Bagi petani yang telah melakukan kemitraan usaha dengan perusahaan mitra pemasaran produk jagung dilakukan melalui kelompok tani atau koperasi, perusahaan mitra, pabrik pengolahan dan konsumen.
5. Kelembagaan pendukung agribisnis jagung pada umumnya adalah lembaga di tingkat petani dan lembaga di luar petani. Lembaga ditingkat petani terdiri dari kelompok tani dan koperasi, Lembaga di luar petani seperti pemerintah, lembaga keuangan, perusahaan dan lain-lain.
IV. KEMITRAAN USAHA PADA AGRIBISNIS JAGUNG
1. Landasan Perlunya Kemitraan Usaha pada Agribisnis Jagung
Pengembangan agribisnis jagung membutuhkan dukungan permodalan dan komitmen yang kuat, sementara itu kemampuan permodalan dan manajemen petani jagung untuk melakukan kegiatan usaha agribisnis jagung masih sangat terbatas, demikian juga dukungan pemerintah semakin berkurang dengan dikuranginya subsidi terhadap sarana produksi pertanian. Hal ini membutuhkan alternatif usaha untuk meningkatkan kemampuan petani dalam melaksanakan agribisnis jagung agar tidak tergantung terhadap bantuan pemerintah yang telah semakin berkurang itu.
Salah satu alternatif usaha yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kemampuan petani dalam melakukan agribisnis jagung adalah dengan melakukan kemitraan usaha dengan berbagai perusahaan, baik perusahaan swasta, maupun perusahaan milik pemerintah (BUMN/BUMD). Kemitraan usaha ini dimaksudkan untuk mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi petani jagung seperti pemodalan, manajemen dan pemasaran hasil, sehingga diharapkan dapat meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani disamping itu juga dapat memberikan keuntungan bagi perusahaan mitra.
Pada dasarnya kemitraan usaha dalam bidang pertanian telah dilakukan petani Indonesia sejak lama yang masih bersifat tradisional dan non formal, terutama di daerah-daerah perkebunan. Petani penggarap maupun pemilik di daerah perkebunan rakyat umumnya telah melakukan kemitraan dengan pedagang, system yang dilakukan biasanya dengan system kontrak. System kemitraan ini terus berkembang sesuai dengan tuntutan kebutuhan tidak hanya pada tanaman perkebunan, tetapi juga pada tanaman semusim.
Kemitraan usaha ini baru diformalkan sejak dikeluarkan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 9 tahun 1995 tentang Usaha Kecil pada tanggal 26 Desember 1995, kemudian disosialisasikan sejak tanggal 15 Mei 1996, pada saat itu pemerintah mencanangkan Gerakan Kemitraan Nasional (GKN). Pencanangan tersebut menggambarkan adanya perhatian dari pemerintah terhadap pengusaha kecil, jangan sampai usahanya terdesak oleh pengusaha yang lebih besar, sehingga lambat laun pengusaha kecil usahanya menjadi terhenti. Hal tersebut merupakan himbauan bagi pengusaha yang lebih besar untuk turut serta membantu mengembangkan perusahaan kecil, sehingga mereka bisa bertahan dan meningkatkan usahanya (Satiakusumah, 2002).
Berdasarkan pasal 1 ayat 8 Undang-Undang Republik Indonesia nomor 9 tahun 1995 tentang Usaha Kecil, yang dimaksud dengan kemitraan adalah kerjasama usaha antara usaha kecil dengan usaha menengah atau dengan usaha besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh usaha menengah atau usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan.
Dalam bidang pertanian berdasarkan pasal 1 keputusan menteri pertanian Republik Indonesia nomor : 940/Kpts/OT.210/10/97 tentang Pedoman Kemitraan Usaha Pertanian, yang dimaksud dengan kemitraan usaha pertanian adalah kerjasama antara perusahaan mitra dengan kelompok mitra dibidang usaha pertanian. Sedangkan pada pasal 2 keputusan ini menyatakan bahwa tujuan kemitraan usaha pertanian ini adalah untuk meningkatkan pendapatan, kesinambungan, meningkatkan kualitas kelompok mitra, peningkatan usaha, dalam rangka menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan usaha kelompok mitra yang mandiri. Pasal 3 pada keputusan ini menyatakan bahwa kemitraan usaha pertanian berdasarkan asas persamaan kedudukan, keselarasan dan peningkatan keterampilan kelompok mitra oleh perusahaan mitra melalui perwujudan sinergi kemitraan.
2. Beberapa Manfaat Kemitraan Usaha pada Agribisnis Jagung
Beberapa manfaat yang dapat diambil oleh petani jagung pada kemitraan usaha pertanian dengan perusahaan mitra dengan pola inti plasma antara lain adalah tersedianya fasilitas modal usaha yang murah (tanpa diperhitungkan bunga) yang selama ini tidak mudah diperoleh, terjaminya pemasaran hasil baik dari volume maupun harga yang memadai, pendapatan petani meningkat. Pada kemitraan pola inti plasma antara PT. BISI dengan kelompok tani pada tahun 1997 pendapatan petani dapat meningkat antara 14,9 persen hingga 72,9 persen, sedangkan manfaat lainnya adalah semakin meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petani dan kelompok tani dalam penerapan teknologi dan kelembagaan karena mendapat bimbingan dan pembinaan yang lebih intensif dari perusahaan inti. Bagi perusahaan mitra, kemitraan usaha memberikan manfaat berupa terjaminnya pasokan bahan baku jagung untuk industri pakan ternak pada tingkat harga yang wajar dalam arti masih memberikan keuntungan dan mendorong kegairahan usaha berkelanjutan bagi petani dan pihak perusahaan masih mampu melakukan efisiensi dalam proses industri pakan ternak, sehingga pada gilirannya harga pakan yang dijual tidak memberatkan bagi peternak (Hafsah, 1999). Menurut Hasanawi Mt. (2003), pendapatan petani jagung di Kecamatan Cilengkrang Kabupaten Bandung Propinsi Jawa Barat yang melakukan kemitraan usaha pertanian dengan PT. Dharma Niaga meningkat rata-rata sebesar 35,71 persen dibandingkan dengan sebelum melakukan kemitraan usaha pertanian tersebut, pola kemitraan usaha pertanian yang dilakukan adalah pola Kerjasama Operasional Agribisnis (KOA) yang disertai dengan pembinaan. Peningkatan ini antara lain dikarenakan produktivitas lahan petani meningkat karena penggunaan input produksi yang lebih baik.
3. Kendala dan Alternatif Model Kemitraan pada Agribisnis Jagung
Kendala yang sering terjadi dalam pelaksanaan kemitraan usaha dalam bidang pertanian khususnya dalam agribisnis jagung yang dapat menimbulkan kerugian pada pihak petani adalah masih rendahnya kualitas sumber daya manusia dan masih rendahnya tingkat pendapatan petani jagung, serta kurangnya komitmen dalam pelaksanaan mekanisme kemitraan usaha tersebut baik oleh petani maupun oleh perusahaan mitra.
Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal tersebut adalah dalam pelaksanaan kemitraan usaha diperlukan peningkatan dalam pembinaan dan kontrol. Fungsi pembinaan dan kotrol ini dapat dilakukan oleh pihak pemerintah maupun perusahaan mitra atau lembaga lain yang terlibat dalam kemitraan usaha tersebut.
Dalam kemitraan usaha pada bidang pertanian telah banyak diterapkan berbagai model hubungan kemitraan, dari yang tradisional hingga modern dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Model kemitraan usaha alternatif yang dapat diterapkan dalam agribisnis jagung dalam upaya untuk meningkatkan pendapatan petani jagung dan juga meningkatkan keuntungan bagi perusahaan mitra adalah sebagai berikut:
(1) Model kemitraan usaha dengan melibatkan satu perusahaan mitra. Pada model ini biasanya perusahaan mitra bertindak sebagai off farm business (sector hulu) dan sekaligus juga sebagai out farm business (sector hilir), sedangkan kelompok mitra sebagi on farm business (sector produksi/usahatani).
(2) Model kemitraan usaha dengan melibatkan lebih dari satu perusahaan mitra. Pada model ini biasanya ada perusahaan mitra yang bertindak sebagai off farm business (sector hulu) dan yang lainnya bertindak sebagai out farm business (sector hilir), sedangkan kelompok mitra sebagi on farm business (sector produksi/usahatani).
V. KESIMPULAN
1. Jagung memiliki potensi yang cukup besar untuk diusahakan secara agribisnis, hal ini karena tanaman ini memiliki prospek yang cerah untuk diusahakan baik dari aspek budidaya maupun dari aspek peluang pasar.
2. Salah satu alternatif usaha yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kemampuan petani dalam melakukan agribisnis jagung adalah dengan melakukan kemitraan usaha dengan berbagai perusahaan, baik perusahaan swasta, maupun perusahaan milik pemerintah (BUMN/BUMD).
3. Beberapa manfaat yang dapat diambil oleh petani jagung pada kemitraan usaha pertanian dengan perusahaan mitra antara lain adalah tersedianya fasilitas modal usaha yang murah (tanpa diperhitungkan bunga), terjaminya pemasaran hasil baik dari volume maupun harga yang memadai, pendapatan petani meningkat, semakin meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petani dan kelompok tani dalam penerapan teknologi dan kelembagaan karena mendapat bimbingan dan pembinaan yang lebih intensif dari perusahaan mitra. Bagi perusahaan mitra, kemitraan usaha memberikan manfaat berupa terjaminnya pasokan bahan baku jagung untuk industri pengolahan pada tingkat harga yang wajar dalam arti masih memberikan keuntungan dan mendorong kegairahan usaha berkelanjutan bagi petani dan pihak perusahaan masih mampu melakukan efisiensi dalam proses industri.
4. Kendala yang sering terjadi dalam pelaksanaan kemitraan usaha dalam bidang pertanian khususnya dalam agribisnis jagung yang dapat menimbulkan kerugian pada pihak petani adalah masih rendahnya kualitas sumber daya manusia dan masih rendahnya tingkat pendapatan petani jagung, serta kurangnya komitmen dalam pelaksanaan mekanisme kemitraan usaha tersebut, baik oleh petani maupun oleh perusahaan mitra. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal tersebut adalah dalam pelaksanaan kemitraan usaha diperlukan peningkatan dalam pembinaan dan kontrol. Fungsi pembinaan dan kotrol ini dapat dilakukan oleh pihak pemerintah maupun perusahaan mitra atau lembaga lain yang terlibat dalam kemitraan usaha tersebut.
5. Dalam kemitraan usaha pada bidang pertanian telah banyak diterapkan berbagai model hubungan kemitraan, model alternatif yang dapat dilaksanakan adalah model kemitraan usaha dengan melibatkan hanya satu perusahaan mitra dan model kemitraan yang melibatkan lebih dari satu perusahaan mitra.
DAFTAR PUSTAKA
Hafsah, M.J. 1999. Kemitraan Usaha Konsepsi dan Strategi. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.
Hasanawi Mt. 2003. Peranan Kemitraan Usaha Pertanian antara Petani Jagung dengan PT. Dharma Niaga dalam Meningkatkan Pendapatan Petani pada Agribisnis Jagung (Zea mays Linn.). Tesis Program Magister (S2) Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran. Bandung. (Unpublish).
Rahmanto, B. 1997. Perkembangan Adopsi Varietas Unggul Jagung Serta Dampaknya Terhadap Peningkatan Produksi dan Pendapatan Petani. Prosiding Agribisnis. Dinamika Sumberdaya dan Pengembangan Sistem Usaha Pertanian Buku II. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Bogor.
Rukmana, R. 1997. Usahatani Jagung. Kanisius. Yogyakarta.
Satiakusumah, H.R.E.D. 2002. Koperasi Prinsip-prinsip Dasar Koperasi dan Konsep Kemitraan. Fakultas Ekonomi Universitas Pasundan. Bandung.
Sa’id, E.G. dan A.H. Intan. 2001. Manajemen Agribisnis. Ghalia Indonesia. Jakarta.
Subandi, I.G. Ismail dan Hermanto. 1998. Jagung Teknologi Produksi dan Pasca Panen. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
Sudjana, A., A. Rifin dan M. Sudjadi. 1991. Jagung. Buletin Teknik No. 3. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Balai Penelitian Tanaman Pangan. Bogor.
PROFIL HASANAWI MASTURI
Nama: Dr. Ir. Hasanawi Masturi, M.P. Nama Panggilan: Hasan, Acun. Keahlian: Manajemen, Marketing, Riset, Evaluator. Pekerjaan: Dosen, Konsultan, Instruktur. Alamat: Jalan Gagak, Sadang Saip III No. 110 RT.04 RW.10 Bandung 40133
Langganan:
Postingan (Atom)